Selasa, 11 Januari 2011

PENTINGNYA BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM PENDIDIKAN DAN MACAMNYA

BAB II
PEMBAHASAN
PENTINGNYA BIMBINGAN DAN KONSELING DALAM PENDIDIKAN DAN MACAMNYA

I. Peranan Bimbingan dan Konseling Dlam Pendidikan
A. Kedudukan Bimbingan dan Konseling Dalam Pendidikan

Seperti kita ketahui di dalam kegiatan pendidikan di sekolah atau lembaga pendidikan formal, pada umumnya sekurang-kurangnya ada 3 ruang lingkup kegiatan pendidikan, yaitu :
1. Bidang instruksional dan kurikulum
2. Bidang administrasi dan pendidikan
3. Bidang pembinaan pribadi
Kegiatan pendidikan yang baik dan ideal, hendaknya mencakup ketiga bidang tersebut. Sekolah atau lembaga pendidikan yang hanya menjalankan program instruksional dan administrasi saja, tanpa memperhatikan kegiatan bidang pembinaan pribadi peserta didik, mungkin hanya akan menghasilkan individu yang pintar dan cakap, serta bercita-cita tinggi, tetapi mereka kurang mampu dalam memahami potensi yang dimilikinya, dan kurang/ tidak mampuuntuk mewujudkan dirinya di dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa program pelayanan bimbingan dan konseling berusaha untuk dapat mempertemukan antara kemampuan individu dengan cita-citanya serta dengan situasi dan kebutuhan masyarakat.
Untuk dapat melaksanakan kegiatan pembinaan pribadi peserta didik dengan baik diperlukan petugas-petugas khusus yang mempunyai keahlian dalam bidang bimbingan dan konseling, dikatakan demikian karena beberapa alasan sebagai berikut :
1. Ada beberapa masalah dalam pendidikan dan pengajaran, yang tidak mungkin diselesaikan hanya oleh guru/ dosen sebagai staf pengajar.
2. Pekerjaan menyelesaikan masalah pribadi dan social kadang-kadang memerlukan keahlian tersendiri.
3. dalam situasi tertentu kadang-kadang terjadi koflik antara peserta didik dengan guru/ dosen, sehingga dalam situasi tersebut sulit bagi guru/ dosen untuk menyelesaikannya.
4. Dalam situasi tertentu juga dirasakan perlunya suatu wadah atau lembaga untuk menampung dan menyelesaikan masalah-masalah peserta didik yang tidak dapat tertampung dan terselesaikan oleh para pendidik.

Dari uraian diatas jelaslah bahwa dalam keseluruhan prosespendidikan, program bimbingan dan konseling merupakan keharusan yang tidak dapat dipisahkan dari prigram pendidikan pada umumnya.
Dan dari pembahasan diatas dapatlah ditemukan kedudukan pelayanan bimbingan dan konseling dalam keseluruhan program pendidikan disekolah, yaitu sebagai salah satu upaya pembinaan pribadi peserta didik.

B. Pola Kedudukan Bimbingan dan Konseling dalam Pendidikan

Bimbingan dan Konseling yang berkedudukan sebagai bagian integral dari keseluruhan kegiatan pendidikan disekolah dalam pelaksanaannya mempunyai beberapa pola atau kemungkinan operasionalnya. Uraian berikut ini akan mengemukakan pola-pola hubungan bimbingan dan konseling dengan aspek-aspek lain dalam pendidikan, sebadaimana yang dikemukakan oleh DR. Tohari Musnamar dalam bukunya Bimbingan dan Wawanwuruk sebagai suatu system ( 1985: 16 ) sebagai berikut :
Pola pertama, Bimbingan identik dengan pendidikan, menurut pola ini bimbingan itu identik dengan pendidikan, karena baik prinsip-prinsipnya maupun tujuan yang ingin dicapai adalah sama, yakni mengantarkan individu peserta didik untuk mempertumbuhkan dan memperkembangkan dirinya secara optimal.
Cirri-ciri khas pola bimbingan identik dengan pendidikan adalah :
1. Adanya anggapan bahwa membimbing adalah mendidik dan mendidik adalah membimbing
2. Setiap pendidik disamping berfungsi sebagai pengajar juga berfungsi sebagai pembimbing
3. Pendidik pada waktu memberikan materi pelajaran (mengajar) sekaligus memasukkan unsure-unsur bimbingan
4. biasanya pada pola ini orang beranggapan bahwa tidak perlu untuk membentuk lembaga khusus bimbingan dan penyuluhan

Adapun kebaikan pola bimbingan identik dengan pendidikan ini adalah :
1. Bimbingan dan konseling betul-betul integral (manunggal) dengan pendidikan
2. Seluruh pendidik berberan serta secara penuh dalam kegiatan bimbingan dan konseling

Sedangkan kelemahan pola ini adalah :
1. Metode serta teknik bimbingan dan konseling yang sudah berkembang pesat tidak dapat dimanfaatkan oleh para pendidik, karena mereka kurang banyak dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk melaksanakan fungsinya sebagai konselor
2. Banyak program bimbingan dan konseling yang membutuhkan penanganan yang khususdan tenaga yang professional serta pada waktu yang khusus pula.

Pola kedua, bimbinga sepbagai pelengkap pendidikan, pola ini beranggapan bahwa banyak ditemukan celah-celah dan kekurangan-kekurangan. System pendidikan klasikal yang konvesional lebih banyak memperhatikan kelas dan keseluruhan peserta didik secara umum, tetapi kurang memperhatikan peserta didik sebagai individu yang unik.
Di dalam pola ini, lembaga bimbingan dan konseling sama sekali terpisah dari kegiatan pengajaran dan ditangani oleh para ahli, seperti psikolog, ahli rest, dokter, psikiater, petugas social dan lain sebagainya.
Cirri khusus pola yang kedua ini yaitu :
1. Lembaga bimbingan dan konseling dibentuk khusus yang sifatnya relative eksklusif, dan ditangani oleh para ahli dari berbagai bidang
2. Fungsi bimbingan dan konseling terpisah dari kegiatan instruksional
3. Program bimbingan dan konseling pada pola ini cenderung mengarah pada pelayanan yang bersifatklinikal dengan fungsi utama remediatif – rehabilitatif – adjustif
4. Orientasinya lebih mengarah dan ditentukan pada masalah peserta didik yang mengalami kritis
Sedangkan kelemahan dari pola ini adalah :
1. Cara kerja lembaga pada pola kedua ini cenderung eksklusif, ingin bebas dan memisahkan diri dari kegiatan-kegiatan lainnya seperti kegiatan pengajaran dan administrasi
2. Tenaga-tenaga para ahli sering sukar diperoleh dan biasanya lebih mahal

Pola ketiga, bimbingan dan konseling bagian dari kurikuler. Pola ketiga ini ditandai dengan disediakannya jam-jam pelajaran khusus memberikan pelayanan bimbingan secara kelompok.
Kebaikan dari pola ini adalah :
1. Peserta didik memperoleh dasar-dasar orientasi psikologis dari kehidupan sekarang dan yang akan dating
2. Pelayanan bimbingan dan konseling lebih berkesinambungan bukan merupakan usaha penyembuhan yang isidental saja
Sedangkan kelemahan dari pola ini adalah :
1. jam pelajaran atau kredit perkuliahan menjadi terkurangi
2. kepada konselor dituntut untuk memiliki dua kualifikasi yang cukup berat

Pola keempat, yakni bimbingan dan konseling bagian dari layanan urusan kesiswaan. Pada pola keempat ini bimbingan dan konseling merupakan bagian dari serangkaian kegiatan pembinaan pribadi peaserta didik, yang melembaga untuk mendukung kesuksesan dan kelancaran studi para peserta didik.
Kebaikan dari pola keempat ini adalah bahwa aspek-aspek kebutuhan para peserta didikyang berhubungan dengan kesejahteraan pendidikan dan pribadi mendapat perhatian dan pelayananyang baik oleh masing-masing unitpelayanan yang tersedia.
Sedangkan kelemahan dari pola ini adalah sering terjadi kurangnya koordinasi atau kerja sama yang harmonis antara masing-masing unit pelayanan san pada umumnya kelemahan-kelemahan yang terdapat pada pola yang kedua, menjadi kelemahan pula pada pola yang keempat.

Pola kelima, bimbingan dan konseling sebagai sub system pendidikan. Pola ini didasarkan atas pemikiran bahwa bimbingan merupakan suatu sisitem, yang memiliki komponen-komponen yang saling berhubungan dan bekerja sama untuk mencapai tujuan.
Kebaikan dari pola kelima ini adalah :
1. Bimbingan tidak terpisah dari proses dan program pendidikan
2. Seluruh personil pendidikan berperan aktif dalam kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling
3. Seluruh sisiwa mendapat kesempatan yang sama untuk memperoleh pelayanan bimbingan dan konseling baik secara langsung maupun tidak langsung
Sedangkan kelemahan dari pola ini dalah :
1. Konsep pola kelima ini sangat iseal, akan tetapi petunjuk operasional sering kurang jelas, sehingga pelaksanaanya sering menemukan kesulitan
2. Bila job description kurag baik, maka akan sering terjadi kesimpang siuran antara fungsi kepala sekolah atau pimpinan perguruan tinggi dengan guru atau dosen pembimbing.

C. Peranan Bimbingan dan Konseling Dalam Pendidikan

Sekolah atau lembaga pendidikan, sebagaimana telah kita ketahui bertujuan untuk mempersiapkan dan menghasilkan tenaga untuk mengisi formasi-formasi yang dibutuhkan oleh masyarakat atau pemerintah. Ditinjau dari tujuan pendidikan Nasional yang telah digariskan dalam Undang-undang RI No. 20 tahun 2003 tentang system pendidikan Nasional.
Dalam hal kualifikasi ahli para tamatan suatu sekolah atau lembaga pendidikan, sekurang-kurangnya memiliki empat kompetensi pokok, yaitu kompetensi religius, akademis atau professional, kemanusiaan, dan kompetensi sosial.
Keseluruhan kegiatan pendidikan disekolah jelas dan seharusnyadiarahkan untuk mencapai keempat kompetensi itu pada setiap para peserta didiknya.
II. Macam-macam Bimbingan dan Konseling
a. Pelayanan pengumpulan data tentang siswa dan lingkungannya
b. Konseling
c. Penyajian informasi dan penempatan
d. Penilaian dan penelitian
DAFTAR PUSTAKA

Hallen A, Quantum Teaching, Bimbingan dan Konseling dalam Pendidikan, PT Ciputat Press,
Ciputat, 2005, 34.


DR. Tohari Musnamar, Bimbingan dan Wawanwuruk sebagai suatu system, 1985, hal. 16

Sang Pengembara Cerpen: Antoni

Sang Pengembara
Cerpen: Antoni

CINTA membuatku bodoh. Sebetulnya aku membenci keadaan ini. Sudah lama aku tidak jatuh cinta. Dan tiba-tiba makhluk gaib itu datang, menyergapku dari belakang, membantingku dengan kasar, jatuhlah aku ke pelaminan.

Aku seorang pengembara, tapi kini aku terjerat tali pernikahan. Bayangkan. Seorang pengembara terjerat tali pernikahan! Pernikahan tanpa janur kuning melengkung, tanpa kelapa gading menggelantung, tanpa setandan pisang raja, melati dironce-ronce, apalagi gending Kodok Ngorek, tidak ada sama sekali. Semua berlangsung tawar, tidak semerbak, abu-abu, persis mendung menggantung.

"Ini pernikahan resmi kan, Ma?" tanyaku kepada ibu mertuaku, setelah semua tamu pulang.

"Resmi…!" Alis matanya agak menaik. "Ada naib dan petugas KUA. Sah
menurut hukum dan agama. Emangnya kenapa?"

"Ya alhamdulillah, merasa bahagia saja…," jawabku. Aku memang seorang muallaf sejak Agustus 2003. Jadi maklum belum begitu paham.

Kami pun kembali terdiam. Ibu mertuaku asyik memisah-misahkan jepitan rambut yang tadi dipakai istriku. Ada yang besar ada yang kecil, dipisahkan satu dengan lainnya. Lalu disimpan di kotak kecil-kecil. Sambil menyulut rokok, aku sandarkan punggung ke tiang kayu penyangga rumah limasan ini. Tidak ada penutup atap. Gentingnya terlihat dari bawah. Lonjoran-lonjoran bambu tampak jelas.

Aku tercenung sejenak. Teringat mendiang ibuku yang meninggal November tahun lalu. Seandainya masih hidup, tentu ia bahagia sekali menyaksikan pernikahanku. Wasiat terakhir untukku hanya satu: ia ingin melihatku bahagia.

Rambutku terasa sedikit naik. Angin bukit batu yang kering, bersirobok masuk dari pintu depan. "Aku mengalami kebahagiaan hanya pada saat berdoa saja, Bu…," gumamku dalam batin.

Pernikahan, terus terang, memang membuatku bahagia. Meski perhelatannya berlangsung sangat sederhana. Pernikahan memaksaku berhenti mengembara. Puluhan tahun aku melintasi jalanan sepi dan gelap, berteman rindu dan harapan. Kakiku melangkah tanpa kepastian. Akhirnya aku dihentikan oleh kekuatan yang tidak pernah aku pahami. Jodoh membuatku berhenti melangkah.

Sebagai pengembara, sungguh tak pernah aku mempelajari apa itu hakikat perkawinan, rumah tangga bahagia, keluarga sakinah dan sebangsanya. Jadilah aku manusia paling mengenalinya sama sekali.

Zainuddin Labay el-Yunusi

| Zainuddin Labay el-Yunusi, adalah sosok ulama pembaharu yang unik. Keunikannya terletak pada suatu kenyataan bahwa ia tidak mempunyai pendidikan yang teratur dan sistematis, namun mampu melahirkan ide-ide cemerlang dan berhasil menata sistem pendidikan Islam ke arah yang lebih moderen serta mampu pula melahirkan generasi pendidik yang sangat berpengaruh dalam dunia pendidikan Islam pada masa berikutnya. Sekalipun Zainuddin Labay produk pendidikan tradisional (surau), namun memiliki wawasan inovatif, dan moderen. Ide-ide pembaharuannya – terkesan – mampu melampaui zamannya. Bahkan pemikiran-pemikiran revolusionernya sering “berseberangan” dengan tradisi sosial masyarakat waktu itu. Ia merupakan sosok ulama, pembaharu dan pendidik umat yang dipandang berhasil dalam menata sistem pendidikan Islam dan menyadarkan kevakuman dinamika umat terhadap ajaran agamanya.
Pendidikan Zainuddin Labay el-Yunusi, sama dengan yang dialami oleh kebanyakan orang Islam seusianya. Pendidikan awal yang dilaluinya tentu saja pendidikan infomal (di dalam keluarga) dan pendidikan agama yang diberikan ayahnya. Pada usia 8 (delapan) tahun, Zainuddin Labay, dimasukkan ayahnya ke sekolah pemerintah (HIS), namun ia hanya belajar sampai kelas IV. Kemudian ia keluar dari sekolah tersebut karena dalam banyak hal ia tidak setuju dengan pola pendidikan kolonial yang tidak akomodatif terhadap pendidikan agama Islam. Setidak-tidaknya, ada dua hal yang menyebabkan Zainuddin Labay keluar dari sekolah pemerintah (HIS). Pertama, di sekolah pemerintah tidak dimasukan mata pelajaran agama karena pihak pemerintah (Belanda), sehingga sekolah terkesan sekuler dan hanya untuk kepentingan duniawi semata. Kedua, bahwa tujuan dari pemerintah Belanda mendirikan sekolah bukan untuk kepentingan rakyat, akan tetapi hanya untuk kepentingan kolonial Belanda itu sendiri, yakni untuk mempersiapkan calon-calon tenaga pegawai terdidik yang akan ditempatkan dalam birokrasi lokal termasuk penyediaan personil dalam urusan tanam paksa kopi. Pengetahuan yang diberikan di sekolah-sekolah pemerintah itu nantinya juga merupakan bagian dari upaya membentuk warga negara yang “baik” dan secar berangsur-angsur mereka juga akan diperbelandakan, dalam arti mencontoh gaya hidup Eropa. Sehingga hasilnya terkesan lebih menguntungkan pihak penjajah. Untuk itu, Zainuddin Labay, memutuskan untuk tidak lagi belajar di sekolah pemerintah tersebut. Setelah keluar dari sekolah pemerintah, Zainuddin kembali belajar dengan ayahnya memperdalam ilmu-ilmu agama. Waktu-waktu senggang dipergunakan untuk belajar mandiri dan membaca. Masa 2 (dua) tahun belajar dengan ayah tercinta dirasakannya tidak begitu lama, sebab ayahnya dipanggil Yang Mahakuasa. Akibatnya pendidikan Zainuddin terbengkalai di saat ia sedang sangat memerlukan pendidikan untuk masa depannya.
Pemikiran-pemikiran pembaharuan yang pernah mereka timba di Timur Tengah, disebarluaskan kembali di tanah air. Zainuddin Labay, termasuk orang yang menerima pemikiran-pemikiran moderen dari ketiga tokoh ulama pembaharu tersebut. Karena Zainuddin pernah belajar di surau mereka bahkan sempat menjadi guru bantu. Zainuddin Labay tidak pernah belajar kepada ulama-ulama tradisional kecuali kepada ayahnya. Itupun hanya sebatas pengetahuan tentang dasar-dasar agama dan waktunya pun tidak terlalu lama. Dengan demikian pengaruh pemikiran moderen lebih banyak ia terima ketimbang pemikiran-pemikiran keagamaan yang bercorak tradisional.
Kiprah Zainuddin Labay sebagai seorang tokoh modernis telah kelihatan ketika ia masih berusia muda. Dalam konteks yang lebih sederhana, cikal bakal Zainuddin sebagai seorang modernis dapat dilihat dari cara ia menyusun namanya sendiri, yakni “Zainuddin Labay el-Yunusi”. Gelar “Labay”, yang dipakai dibelakang namanya bukanlah gelar kehormatan yang diberikan oleh ninik mamak dan ulama kepadanya, akan tetapi gelar itu ia sendiri yang melekatkan kepada dirinya dan semua orang disuruh memanggil nama tersebut, hingga terkenalah nama tambahan itu dibelakang nama Zainuddin hingga akhir hayatnya bahkan sampai saat ini. Ketika menjadi guru bantu di surau Jembatan Besi, Zainuddin Labay mulai menampakkan potensi dirinya sebagai seorang pembaharu. Tidak puas dengan ilmu yang diperolehnya ketika belajar di lembaga pendidikan tradisional surau, ia mencoba mengadakan koresponden dengan tokoh-tokoh luar negeri. Buku-buku keluaran Mesir dan Timur Tengah lainnya dipesan langsung. Sehingga koleksi buku-bukunya tidak hanya terbatas kepada buku-buku terbitan dalam negeri akan tetapi juga terbitan luar negeri, terutama buku-buku tafsir, hadis, fiqh, sejarah, dan lain-lain.
Gencarnya polemik antara kaum tua dan kaum muda tentang soal-soal agama, memotivasinya untuk lebih kuat mempertahankan dan membela pendirian kaum muda yang tertuang di dalam berbagai tulisan di majalah al-Munir. Bahkan dalam kesempatan yang sama, Zainuddin Labay bersama Abdul Majid Sidi Sutan memotori terbitnya majalah al-Akhbar sebagai pembela utama pendirian al-Munir dari serangan-serangan ulama tradisional Didorong oleh semangat ingin menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan pengajaran serta ide-ide pembaharuan untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat, didukung pula oleh pengalamannya dalam dunia jurnalistik
Kedudukan Zainuddin labay dalam barisan kaum muda ini dapat dilihat dari sikapnya yang menentang perbuatan-perbuatan bid’ah. Ketika ayahnya meninggal dunia, kepada pihak keluarga ayahnya yang datang dari Pandai Sikek dan masyarakat yang datang dari berbagai daerah di Minangkabau bertakziah, ia menyampaikan sebuah pernyataan yang dianggap bertentangan dengan tradisi yang berkembang waktu itu. Ia menyampaikan kepada para petakziah bahwa di atas kuburan ayahnya tidak akan dibangun tempat untuk berziarah, yang memungkinkan orang beramal tidak sesuai dengan ajaran Islam murni. Walaupun ayahnya seorang ulama besar dan tokoh kharismatik dalam tarikat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah, tidak serta merta ia mengikuti pemahaman keagamaan ayahnya tersebut. Paham-paham moderen yang berorientasi pemurnian ajaran Islam yang dihembuskan oleh guru-gurunya lebih menyentuh jiwanya ketimbang paham tradisional yang lebih berorientasi bid’ah dan khurafat. Bila dihubungkan sampai ke atas, sikap keras tersebut merupakan warisan dari datuknya Haji Miskin, salah seorang tokoh gerakan Paderi dari Pandai Sikek.
Sisi lain dari aktivitas Zainuddin Labay sebagai seorang tokoh modernis adalah mendirikan sebuah kafetaria yang diberi nama “Buffet Merah”. Kafe ini sengaja dibuka dan dikelola sebagai sebuah unit usaha koperasi. Diharapkan dari kehadiran kafe ini sebahagian hasil usahanya dapat dimanfaatkan untuk membantu eksisnya lembaga pendidikan Islam yang saat itu tumbuh subur di Padang Panjang. Di samping itu kafe sederhana ini juga sebagai arena untuk membuka mata masyarakat terhadap berbagai perkembangan aktual di dalam dunia internasional (politik) serta masalah-masalah yang timbul di dalam masyarakat. Ini sesuai dengan ucapan yang pernah dilontarkannya bahwa “jika ingin mengaji agama secara mendalam datanglah ke Diniyah School atau ke Sumatera Thawalib, tapi jika ingin mengkaji masalah politik, di Buffet Merah kita bertemu”.
Berdirinya “Buffet Merah” sebagai sebuah unit usaha ekonomi dan tempat pemecahan masalah-masalah politik, menurut hemat penulis ada sasaran yang ingin dicapai oleh Zainuddin Labay. Setidak-tidaknya ada dua hal yang menjadi tujuan utamanya, pertama, kafe ini didirikan dengan tujuan sebagai arena untuk membuka wawasan masyarakat terhadap berbagai masalah-masalah aktual yang terjadi baik di dunia Internasional, politik maupun soal-soal kemasyarakatan lainnya. Sasaran kedua, adalah dapat membantu kelangsungan hidup sekolah-sekolah Islam yang ada di Padang Panjang terutama Diniyyah School dan Thawalib. Sebagai sebuah lembaga pendidikan yang baru didirikan, sekolah-sekolah Islam tersebut perlu dana untuk penunjang kegiatan belajar-mengajarnya. Untuk itu perlu dicarikan biaya melalui usaha-usaha yang halal dan terhormat.
Ketika asisten residen Tanah Datar (tuan Luhak) menawarkan bantuan (subsidi) untuk membiayai kelangsungan hidup sekolah yang baru didirikannya, secara tegas Zainuddin Labay menolak tawaran itu, karena ia melihat di balik bantuan itu ada tujuan lain yang terselip di dalam misi asisten residen tersebut yang nota bene adalah kaki tangan kolonial Belanda. Dalam bahasa yang sangat diplomatis namun tegas, Zainuddin Labay menyatakan penolakannya terhadap jasa baik tersebut “biarlah Diniah School hidup dan tumbuh bersama masyarakatnya”. Ramainya “Buffet Merah” dikunjungi masyarakat pada dasarnya bukanlah terletak pada pokok permasalahan yang didiskusikan, akan tetapi kharisma Zainuddin Labay yang membuat orang ramai datang ke sana. Salah satu prinsip yang selalu dipakai Zainuddin Labay dalam menyebarkan ide pembaharuannya adalah mengajak orang (ke dalam Islam) secara bijaksana dan pengajaran yang baik. Kenyataan ini dapat dilihat dari cara ia mengajak orang untuk shalat. Dalam suatu kesempatan di Buffet Merah, ketika orang sedang ramai dan asyik mendengar cerita yang dibacakan Zainuddin Labay dari sebuah buku yang berjudul “Rokombole”, beduk shalat Ashar berbunyi. Zainuddin secara spontan menutup buku cerita tersebut dan menyampaikan kepada pendengar, “mari kita shalat ke masjid Jembatan Besi… dan setelah shalat cerita kita sambung lagi”. Oleh karena orang sangat simpati kepadanya, semua yang ada di kafe tersebut pergi shalat, kecuali anak-anak kecil yang tinggal untuk menjaga buffet itu.
Dilihat dari aktifitasnya sebagai tokoh modernis, nyatalah bahwa Zainuddin Labay, memang mempunyai naluri yang luar biasa. Aktifitas-aktifitas yang dilakukannya mencerminkan suatu cita-cita luhur dan agung. Di saat orang seusianya belum bisa berbuat apa-apa untuk kemajuan umat, bangsa dan agama, ia telah dapat melakukannya. Bahkan dibandingkan dengan guru-guru yang sealiran dengannya, ia terlihat lebih maju dan pemikiran moderennya melebihi pemikiran moderen guru-gurunya. Karena pemikirannya yang brilyan itu, oleh Hamka, ia disebut sebagai seorang “filosof muda”, yang terlahir ke dunia sebelum masanya. Penilaian Hamka, akan terlihat jelas lagi dari beberapa karya tulisnya di majalah al-Munir, pimpinan Abdullah Ahmad, al-Munir el-Manar, maupun karya tulisnya dalam bentuk buku dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Aktifitasnya dalam hal ini telah nampak ketika ia mulai menyumbangkan tulisan-tulisannya pada majalah al-Munir yang dipimpin Abdullah Ahmad di Padang. Setelah penerbitan majalah ini terhenti tahun 1916, karena musibah kebakaran, atas inisiatif sendiri tahun 1919 dapat melanjutkan kembali penerbitan majalah serupa di Padang Panjang, dengan nama al-Munir el-Manar. Di samping itu untuk bacaan masyarakat dan kepentingan pendidikan serta memenuhi kurikulum sekolah-sekolah agama khususnya Diniyah School, ia menerbitkan pula buku-buku teks dan buku-buku bacaan. Berbekal pengalaman yang sudah ada itu, perlu dilihat karya-karya tulis Zainuddin Labay yang mencakup berbagai macam tema dan disipli ilmu.
Pada dasarnya keberhasilan Zainuddin Labay mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam moderen sangat erat kaitannya dengan pengalamannya semenjak ia mulai menjadi guru bantu di surau Syeikh Abbas Abdullah, di Padang Japang dan Syeikh Abdul Karim Amrullah di Surau Jembatan Besi, Padang Panjang, merupakan modal dasar baginya untuk memulai sebuah gagasan baru dalam dunia pendidikan dan pengajaran agama Islam. Sebagai seorang yang berpikiran moderen dan maju, di samping berkarya melalui media pers, ia sangat berkeinginan mewujudkan cita-citanya untuk merubah sistem pendidikan Islam. Kondisi pendidikan umat Islam jauh tertinggal dibanding dengan pendidikan pemerintah Belanda. Ia menginginkan perubahan sistem pendidikan Islam yang selama ini diselenggarakan dengan cara tradisional dan sudah ketinggalan zaman. Duduk di lantai melingkar diganti dengan meja dan kursi; guru dan murid sama-sama duduk di kursi. Guru hendaknya berada di depan murid-murid, jangan berkeliling sambil bersandar di tiang masjid. Media belajar sebaiknya digunakan papan tulis dan kapur tulis dan harus ada rencana pelajaran yang teratur. Pakaian sekolah murid-murid harus diatur sedemikian rupa dan mereka tidak boleh berpakaian seenaknya. Untuk menentukan kehadiran murid-murid, harus ada absen dan jika suatu ketika seorang murid tidak bisa hadir di sekolah harus ada surat keterangan (sakit, izin dan lain-lainnya). Untuk menilai kemampuan murid-murid menyerap pelajaran yang diberikan, harus ada evaluasi akhir dan setiap akhir tahun harus ada kenaikan tingkat (kelas). Cita-cita itu menjadi spirit di dalam jiwanya dan pada setiap kesempatan mengajar di surau Jembatan Besi, ia selalu mengemukakan keinginannya itu kepada murid-muridnya. Ia melihat di mana-mana belum ada sekolah agama seperti apa yang ia cita-citakan itu. Pola dan sistem pengajaran di surau dirasakan tidak berkembang. Setelah cita-cita besar ini dirasakan sudah mantap dan telah mendapat dukungan dari sebahagian murid-murid surau Jembatan Besi, maka pada tanggal 10 Oktober 1915, Zainuddin Labay mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam baru yang diberi nama Diniyah School, dengan sistem berkelas. Sekolah ini menerima murid-murid laki-laki dan perempuan, diajar dalam kelas yang sama dalam waktu yang sama serta dengan guru yang sama. Pola semacam ini dalam dunia pendidikan dikenal dengan istilah “ko-edukasi”.
Obsesi besar yang dicanangkan Zainuddin Labay dalam dunia pendidikan Islam, ternyata telah memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi perkembangan sistem pendidikan Islam. Sistem pendidikan yang dibangunnya tidak hanya memberikan sumbangan bagi penataan aspek kelembagaan dan aspek kurikulum saja, akan tetapi juga mampu melahirkan generasi dan kader-kader berkualitas dan memiliki reputasi baik dalam lapangan pendidikan maupun dalam bidang-bidang lain. Beberapa orang di antaranya dapat disebut antara lain, seperti Rahmah el-Yunusiyah (adik kandung Zainuddin Labay dan pendiri Diniyah Putri).Kiprahnya dalam bidang pendidikan Islam masih bisa dilihat sampai sekarang. Lembaga pendidikan yang didirikannya tetap diminati masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan sampai ke negara tetangga, yakni Malaysia dan Singapura. Atas jasanya dalam pengembangan pendidikan Islam, pada tahun 1956, rektor universitas al-Azhar, Kairo menganugerahkan gelar “Syaikhah” kepadanya. Pemerintah Indonesia sampai saat ini belum memberikan penghargaan sebagai pahlawan nasional dalam bidang pendidikan Islam walaupun usulan untuk itu sudah lama dilakukan.

MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Konsep Pendidikan menurut Al-Ghazali, Ibnu Sina, dan Ibnu Taimiyah. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman semua. Amin...

















DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………..…… i
DAFTAR ISI ………………………………………………………… ii

BAB I
PENDAHULUAN …………………………………………………… 1

BAB II
PEMBAHASAN …………………………………………………...… 2

1. Al-Ghazali …………………………………………………… 2
Konsep Pendidikan Al-Ghazali ………………………………. 2

2. Ibnu Sina …………………………………………… 3
Konsep Pendidikan Ibn Sina ………………………….……… 4

3. Ibnu Taimiyah ………………………….…………... 5
Konsep Pendidikan Ibnu Taimiyah ……………………...…… 6

BAB III
KESIMPULAN ……………………………………………….……… 8

DAFTAR PUSTAKA







BAB I
PENDAHULUAN

Seorang filosof yang lahir dan di besarkan dalam keluarga muslim akan di namakan seorang muslim, akan tetapi pandangan dan kepercayaannya mungkin saja bid’ah inilah yang di sebut dengan “filusuf muslim”. Filusuf Islam adalah orang yang mengambil inspirasinya dari al-Qur’an dan sunah, serta pandangan-pandangan filsafatnya sesuai sepenuhnya dengan pandangan-pandangan yang di uraikan dalam al-Qur’an dan sunah tersebut.
Filusuf Muslim lahir berkat masuknya pemikiran Yunani kedalam pemikiran Arab. Hanya melalui penerjemahan pengetahuan Yunani kedalam Bahasa Arablah kaum muslim di rangsang dan di paksa berfikir, oleh karena itu banyak ajaran dan kepercayaan yang sampai kepada bangsa Arab melalui karya-karya itu. Adapun karya-karya itu bertentangan dengan dasar-dasar agama Islam.
Para filusuf muslim membedakan antara ilmu yang berguna dan ilmu yang tak berguna dan kedalam ilmu yang berguna mereka memasukkan ilmu duniawi. Adapun tujuan para filusuf muslim adalah untuk memberikan kepada dunia suatu saran yang tidak hanya memuaskan pikiran akan tetapi juga perasaan keagamaan.










BAB II
PEMBAHASAN

Pada pemaparan makalah ini akan membahas para filusuf muslim mengenai konsep pendidikan menurutnya. Adapun para filusuf muslim itu, adalah :

1. Al-Ghazali
Nama aslinya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Ia lahir di Thus tahun 450 H/ 1058 M.
Pemikiran al-Ghazali mengenai pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang di sampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran tersebut menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia yang sempurna.
Batas awal berlangsungnya pendidikan menurutnya sejak bersatunya sperma dan ovum sebagai awal kejadian manusia..

Konsep Pendidikan Al-Ghazali :

a. Tujuan Pendidikan
Ada 2 tujuan yang ingin dicapai melalui pendidikan:
- Tercapainya kesempurnaan insani bermuara pada pendekatan diri kepada Allah.
- Kesempurnaan insani yangg bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.

b. Kurikulum
Menurutnya ilmu yang paling utama adalah ilmu agama dengan segala cabangnya, karena ia hanya dapat dikuasai melalui akal yang sempurna dan daya tangkap yang jernih. Dalam kurikulum al-Ghazali mementingkan sisi yang faktual dalam kehidupan, sisi budaya.

c. Metode Pengajaran
Berdasarkan prinsip yang mengatakan bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara 2 pribadi, yaitu guru dan murid. Dengan demikian faktor keteladanan yang utama menjadi bagian metode pengajaran yang amat penting.

d. Kriteria Seorang Guru Yang Baik
Menurutnya bahwa guru yang dapat diserahi tugas mengajar adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya, serta mempunyai rasa kasih sayang.

3. Ibnu Sina

Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina (370/980 - 428/1037), dalam banyak hal unik selang diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu-satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci yaitu suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim selama beberapa abad.
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Ali Huseyn bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Siena. Lahir di dalam masa kekacauan pada bulan Safar 370 H / Agustus 910 M di desa Afshanah dekat kota Kharmaitan, kabupaten Baikh, wilayah Afganistan propinsi Bukhara (Rusia).
Sejarah mencatat bahwa Ibnu Sina memulai pendidikannya pertama kali dipelajari adalah membaca al-Qur’an.

Konsep Pendidikan Ibn Sina :

a. Tujuan Pendidikan
Menurutnya harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna yaitu perkembangan fisik, intelektual, dan budi pekerti. Selain itu juga diupayakan untuk mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan, dan potensi yang dimiliki. Melalui pendidikan jasmani, seorang anak diarahkan agar terbuka pertumbuhan fisiknya dan cerdas otaknya. Sedang pendidikan budi pekerti diharapkan seorang anak memilki kebiasaan bersopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari. Dengan pendidikan kesenian seorang anak diharapkan dapat mempertajam perasaannya dan meningkatkan daya khayalnya membetuk manusia menjadi insan kamil yaitu manusia yang terbina seluruh potensi dirinya secara seimbang dan menyeluruh.

b. Kurikulum
Konsep kurikulumnya didasarkan pada tingkat perkembangan usia anak didik, misalnya usia 3 – 5 tahun diberi mata pelajaran olahraga, budi pekerti, kebersihan, seni suara, kesenian, untuk usia 6 – 14 tahun mencakup pelajaran membaca dan menghafal al-Qur’an, palajaran agama, pelajaran syair, pelajaran olahraga.

Ciri konsep kurikulum Ibnu Sina :
- Tidak hanya terbatas pada sekedar sejumlah mata pelajaran, melainkan disertai dengan penjelasan tentang tujuan dari mata pelajaran, dan kapan mata pelajaran itu harus diajarkan.
- Didasarkan pada pemikiran yang bersifat pragmatis fungsional, yakni dengan melihat segi kegunaan dari ilmu dan keterampilan yang dipelajari dengan tuntutan masyarakat.
- Dipengaruhi oleh pengalaman yang terdapat dalam dirinya.

c. Metode Pengajaran
Metode yang ditawarkan: demonstrasi, pembiasaan, teladan, diskusi.

d. Konsep Guru
Konsep guru yang ditawarkan adalah tentang guru yang baik, dimana guru yang baik adalah guru yang berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, tidak bermuka masam, sopan santun, bersih dan suci murni.

e. Konsep Hukuman Dalam Pengajaran
Hukuman hanya boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa atau tidak normal.

3. Ibnu Taimiyah
Nama lengkapnya Taqiyuddin Ahmad bin Abd al-Halim bin Taimiyah, lahir di kota Harran, hari senin, 10 Rabiul Awal 661 H / 22 Januari 1263 M.

Konsep Pendidikan Ibnu Taimiyah :

a. Falsafah Pendidikan
Dasar yang digunakan adalah ilmu yang bermanfaat sebagai asas bagi kehidupan yang cerdas dan unggul, dengan ilmu pengetahuan seseorang dapat mengenal Allah, beribadah, memuji dan meng-Esakan-Nya, dapat juga diangkat derajatnya dan menjadi ummat yang kokoh.

b. Tujuan Pendidikan
- Tujuan individual
Diarahkan pada pembentukan pribadi muslim yang baik yaitu seseorang yang berfikir, merasa dan bekerja pada berbagai lapangan kehidupan pada setiap waktu dengan apa yang diperintahkan al-Qur’an dan as-Sunah.
- Tujuan sosial
Diarahkan pada terciptanya masyarakat yang baik yang sejalan dengan al-Qur’an dan as-Sunah.
- Tujuan da’wah Islamiyah
Mengarahkan umat agar siap dan mampu memikul tugas da’wah Islamiyah ke seluruh dunia.

c. Kurikulum
Kurikulum yang utama yang harus diberikan kepada anak didik adalah mengajarkan putra-putri kaum muslimin sesuai dengan yang diajarkan Allah kepadanya, dan mendidik agar selalu patuh dan tunduk kepada Allah dan RasulNya.

d. Bahasa Pengantar Dalam Pengajaran
Mewajibkan penggunaan bahasa Arab dalam pengajaran dan percakapan karena bahasa Arab merupakan bahasa yang mulia.

e. Metode pengajaran
Metode yang digunakan adalah ilmiyah dan metode iradah (kemauan/kehendak). Pemikirannya bahwa hati merupakan alat untuk belajar, hatinya yang mengendalikan anggota badan dan mengarahkan jalannya.






















BAB III
KESIMPULAN

Memang ketika kita berbicara mengenai ilmu pengetahuan pasti tidak lepas dari akal karena melalui akal pikiranlah suatu ilmu pengetahuan itu dimunculkan, akan tetapi semua itu tidak terlepas dari faktor lingkupnya tempat dimana dia berada.
Masing-masing pemikirannya berbeda-beda antara filusuf yang satu dengan filusuf yang lainnya. Akan tetapi pada intinya adalah satu yaitu menuju kearah perkembangan ilmu pengetahuan.
Setelah melihat uraian yang ada di atas, dapat sisimpulkan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia yang tidak luput dari ilmu pengetahuan yang tumbuh melalui akal pikiran sehingga tercapai sesuatu yang diinginkan dan tidak mengandalkan dari keturunannya untuk dapat meraih cita citanya dengan pemikirannya itu.

















DAFTAR PUSTAKA

Akhyar Dasoeki, Thawil, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Toha Putra,
Semarang, 1993.
Ibn Rush, Abidin, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998.
Nata, Abudin, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, Rajawali Pers, Jakarta, 1993.
___________, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2001.
Qadir, C. A., Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 1991.
Syarif, M. M., Para Filosof Muslim, Mizan, Bandung, 1996.