Selasa, 11 Januari 2011

Zainuddin Labay el-Yunusi

| Zainuddin Labay el-Yunusi, adalah sosok ulama pembaharu yang unik. Keunikannya terletak pada suatu kenyataan bahwa ia tidak mempunyai pendidikan yang teratur dan sistematis, namun mampu melahirkan ide-ide cemerlang dan berhasil menata sistem pendidikan Islam ke arah yang lebih moderen serta mampu pula melahirkan generasi pendidik yang sangat berpengaruh dalam dunia pendidikan Islam pada masa berikutnya. Sekalipun Zainuddin Labay produk pendidikan tradisional (surau), namun memiliki wawasan inovatif, dan moderen. Ide-ide pembaharuannya – terkesan – mampu melampaui zamannya. Bahkan pemikiran-pemikiran revolusionernya sering “berseberangan” dengan tradisi sosial masyarakat waktu itu. Ia merupakan sosok ulama, pembaharu dan pendidik umat yang dipandang berhasil dalam menata sistem pendidikan Islam dan menyadarkan kevakuman dinamika umat terhadap ajaran agamanya.
Pendidikan Zainuddin Labay el-Yunusi, sama dengan yang dialami oleh kebanyakan orang Islam seusianya. Pendidikan awal yang dilaluinya tentu saja pendidikan infomal (di dalam keluarga) dan pendidikan agama yang diberikan ayahnya. Pada usia 8 (delapan) tahun, Zainuddin Labay, dimasukkan ayahnya ke sekolah pemerintah (HIS), namun ia hanya belajar sampai kelas IV. Kemudian ia keluar dari sekolah tersebut karena dalam banyak hal ia tidak setuju dengan pola pendidikan kolonial yang tidak akomodatif terhadap pendidikan agama Islam. Setidak-tidaknya, ada dua hal yang menyebabkan Zainuddin Labay keluar dari sekolah pemerintah (HIS). Pertama, di sekolah pemerintah tidak dimasukan mata pelajaran agama karena pihak pemerintah (Belanda), sehingga sekolah terkesan sekuler dan hanya untuk kepentingan duniawi semata. Kedua, bahwa tujuan dari pemerintah Belanda mendirikan sekolah bukan untuk kepentingan rakyat, akan tetapi hanya untuk kepentingan kolonial Belanda itu sendiri, yakni untuk mempersiapkan calon-calon tenaga pegawai terdidik yang akan ditempatkan dalam birokrasi lokal termasuk penyediaan personil dalam urusan tanam paksa kopi. Pengetahuan yang diberikan di sekolah-sekolah pemerintah itu nantinya juga merupakan bagian dari upaya membentuk warga negara yang “baik” dan secar berangsur-angsur mereka juga akan diperbelandakan, dalam arti mencontoh gaya hidup Eropa. Sehingga hasilnya terkesan lebih menguntungkan pihak penjajah. Untuk itu, Zainuddin Labay, memutuskan untuk tidak lagi belajar di sekolah pemerintah tersebut. Setelah keluar dari sekolah pemerintah, Zainuddin kembali belajar dengan ayahnya memperdalam ilmu-ilmu agama. Waktu-waktu senggang dipergunakan untuk belajar mandiri dan membaca. Masa 2 (dua) tahun belajar dengan ayah tercinta dirasakannya tidak begitu lama, sebab ayahnya dipanggil Yang Mahakuasa. Akibatnya pendidikan Zainuddin terbengkalai di saat ia sedang sangat memerlukan pendidikan untuk masa depannya.
Pemikiran-pemikiran pembaharuan yang pernah mereka timba di Timur Tengah, disebarluaskan kembali di tanah air. Zainuddin Labay, termasuk orang yang menerima pemikiran-pemikiran moderen dari ketiga tokoh ulama pembaharu tersebut. Karena Zainuddin pernah belajar di surau mereka bahkan sempat menjadi guru bantu. Zainuddin Labay tidak pernah belajar kepada ulama-ulama tradisional kecuali kepada ayahnya. Itupun hanya sebatas pengetahuan tentang dasar-dasar agama dan waktunya pun tidak terlalu lama. Dengan demikian pengaruh pemikiran moderen lebih banyak ia terima ketimbang pemikiran-pemikiran keagamaan yang bercorak tradisional.
Kiprah Zainuddin Labay sebagai seorang tokoh modernis telah kelihatan ketika ia masih berusia muda. Dalam konteks yang lebih sederhana, cikal bakal Zainuddin sebagai seorang modernis dapat dilihat dari cara ia menyusun namanya sendiri, yakni “Zainuddin Labay el-Yunusi”. Gelar “Labay”, yang dipakai dibelakang namanya bukanlah gelar kehormatan yang diberikan oleh ninik mamak dan ulama kepadanya, akan tetapi gelar itu ia sendiri yang melekatkan kepada dirinya dan semua orang disuruh memanggil nama tersebut, hingga terkenalah nama tambahan itu dibelakang nama Zainuddin hingga akhir hayatnya bahkan sampai saat ini. Ketika menjadi guru bantu di surau Jembatan Besi, Zainuddin Labay mulai menampakkan potensi dirinya sebagai seorang pembaharu. Tidak puas dengan ilmu yang diperolehnya ketika belajar di lembaga pendidikan tradisional surau, ia mencoba mengadakan koresponden dengan tokoh-tokoh luar negeri. Buku-buku keluaran Mesir dan Timur Tengah lainnya dipesan langsung. Sehingga koleksi buku-bukunya tidak hanya terbatas kepada buku-buku terbitan dalam negeri akan tetapi juga terbitan luar negeri, terutama buku-buku tafsir, hadis, fiqh, sejarah, dan lain-lain.
Gencarnya polemik antara kaum tua dan kaum muda tentang soal-soal agama, memotivasinya untuk lebih kuat mempertahankan dan membela pendirian kaum muda yang tertuang di dalam berbagai tulisan di majalah al-Munir. Bahkan dalam kesempatan yang sama, Zainuddin Labay bersama Abdul Majid Sidi Sutan memotori terbitnya majalah al-Akhbar sebagai pembela utama pendirian al-Munir dari serangan-serangan ulama tradisional Didorong oleh semangat ingin menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan pengajaran serta ide-ide pembaharuan untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat, didukung pula oleh pengalamannya dalam dunia jurnalistik
Kedudukan Zainuddin labay dalam barisan kaum muda ini dapat dilihat dari sikapnya yang menentang perbuatan-perbuatan bid’ah. Ketika ayahnya meninggal dunia, kepada pihak keluarga ayahnya yang datang dari Pandai Sikek dan masyarakat yang datang dari berbagai daerah di Minangkabau bertakziah, ia menyampaikan sebuah pernyataan yang dianggap bertentangan dengan tradisi yang berkembang waktu itu. Ia menyampaikan kepada para petakziah bahwa di atas kuburan ayahnya tidak akan dibangun tempat untuk berziarah, yang memungkinkan orang beramal tidak sesuai dengan ajaran Islam murni. Walaupun ayahnya seorang ulama besar dan tokoh kharismatik dalam tarikat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah, tidak serta merta ia mengikuti pemahaman keagamaan ayahnya tersebut. Paham-paham moderen yang berorientasi pemurnian ajaran Islam yang dihembuskan oleh guru-gurunya lebih menyentuh jiwanya ketimbang paham tradisional yang lebih berorientasi bid’ah dan khurafat. Bila dihubungkan sampai ke atas, sikap keras tersebut merupakan warisan dari datuknya Haji Miskin, salah seorang tokoh gerakan Paderi dari Pandai Sikek.
Sisi lain dari aktivitas Zainuddin Labay sebagai seorang tokoh modernis adalah mendirikan sebuah kafetaria yang diberi nama “Buffet Merah”. Kafe ini sengaja dibuka dan dikelola sebagai sebuah unit usaha koperasi. Diharapkan dari kehadiran kafe ini sebahagian hasil usahanya dapat dimanfaatkan untuk membantu eksisnya lembaga pendidikan Islam yang saat itu tumbuh subur di Padang Panjang. Di samping itu kafe sederhana ini juga sebagai arena untuk membuka mata masyarakat terhadap berbagai perkembangan aktual di dalam dunia internasional (politik) serta masalah-masalah yang timbul di dalam masyarakat. Ini sesuai dengan ucapan yang pernah dilontarkannya bahwa “jika ingin mengaji agama secara mendalam datanglah ke Diniyah School atau ke Sumatera Thawalib, tapi jika ingin mengkaji masalah politik, di Buffet Merah kita bertemu”.
Berdirinya “Buffet Merah” sebagai sebuah unit usaha ekonomi dan tempat pemecahan masalah-masalah politik, menurut hemat penulis ada sasaran yang ingin dicapai oleh Zainuddin Labay. Setidak-tidaknya ada dua hal yang menjadi tujuan utamanya, pertama, kafe ini didirikan dengan tujuan sebagai arena untuk membuka wawasan masyarakat terhadap berbagai masalah-masalah aktual yang terjadi baik di dunia Internasional, politik maupun soal-soal kemasyarakatan lainnya. Sasaran kedua, adalah dapat membantu kelangsungan hidup sekolah-sekolah Islam yang ada di Padang Panjang terutama Diniyyah School dan Thawalib. Sebagai sebuah lembaga pendidikan yang baru didirikan, sekolah-sekolah Islam tersebut perlu dana untuk penunjang kegiatan belajar-mengajarnya. Untuk itu perlu dicarikan biaya melalui usaha-usaha yang halal dan terhormat.
Ketika asisten residen Tanah Datar (tuan Luhak) menawarkan bantuan (subsidi) untuk membiayai kelangsungan hidup sekolah yang baru didirikannya, secara tegas Zainuddin Labay menolak tawaran itu, karena ia melihat di balik bantuan itu ada tujuan lain yang terselip di dalam misi asisten residen tersebut yang nota bene adalah kaki tangan kolonial Belanda. Dalam bahasa yang sangat diplomatis namun tegas, Zainuddin Labay menyatakan penolakannya terhadap jasa baik tersebut “biarlah Diniah School hidup dan tumbuh bersama masyarakatnya”. Ramainya “Buffet Merah” dikunjungi masyarakat pada dasarnya bukanlah terletak pada pokok permasalahan yang didiskusikan, akan tetapi kharisma Zainuddin Labay yang membuat orang ramai datang ke sana. Salah satu prinsip yang selalu dipakai Zainuddin Labay dalam menyebarkan ide pembaharuannya adalah mengajak orang (ke dalam Islam) secara bijaksana dan pengajaran yang baik. Kenyataan ini dapat dilihat dari cara ia mengajak orang untuk shalat. Dalam suatu kesempatan di Buffet Merah, ketika orang sedang ramai dan asyik mendengar cerita yang dibacakan Zainuddin Labay dari sebuah buku yang berjudul “Rokombole”, beduk shalat Ashar berbunyi. Zainuddin secara spontan menutup buku cerita tersebut dan menyampaikan kepada pendengar, “mari kita shalat ke masjid Jembatan Besi… dan setelah shalat cerita kita sambung lagi”. Oleh karena orang sangat simpati kepadanya, semua yang ada di kafe tersebut pergi shalat, kecuali anak-anak kecil yang tinggal untuk menjaga buffet itu.
Dilihat dari aktifitasnya sebagai tokoh modernis, nyatalah bahwa Zainuddin Labay, memang mempunyai naluri yang luar biasa. Aktifitas-aktifitas yang dilakukannya mencerminkan suatu cita-cita luhur dan agung. Di saat orang seusianya belum bisa berbuat apa-apa untuk kemajuan umat, bangsa dan agama, ia telah dapat melakukannya. Bahkan dibandingkan dengan guru-guru yang sealiran dengannya, ia terlihat lebih maju dan pemikiran moderennya melebihi pemikiran moderen guru-gurunya. Karena pemikirannya yang brilyan itu, oleh Hamka, ia disebut sebagai seorang “filosof muda”, yang terlahir ke dunia sebelum masanya. Penilaian Hamka, akan terlihat jelas lagi dari beberapa karya tulisnya di majalah al-Munir, pimpinan Abdullah Ahmad, al-Munir el-Manar, maupun karya tulisnya dalam bentuk buku dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Aktifitasnya dalam hal ini telah nampak ketika ia mulai menyumbangkan tulisan-tulisannya pada majalah al-Munir yang dipimpin Abdullah Ahmad di Padang. Setelah penerbitan majalah ini terhenti tahun 1916, karena musibah kebakaran, atas inisiatif sendiri tahun 1919 dapat melanjutkan kembali penerbitan majalah serupa di Padang Panjang, dengan nama al-Munir el-Manar. Di samping itu untuk bacaan masyarakat dan kepentingan pendidikan serta memenuhi kurikulum sekolah-sekolah agama khususnya Diniyah School, ia menerbitkan pula buku-buku teks dan buku-buku bacaan. Berbekal pengalaman yang sudah ada itu, perlu dilihat karya-karya tulis Zainuddin Labay yang mencakup berbagai macam tema dan disipli ilmu.
Pada dasarnya keberhasilan Zainuddin Labay mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam moderen sangat erat kaitannya dengan pengalamannya semenjak ia mulai menjadi guru bantu di surau Syeikh Abbas Abdullah, di Padang Japang dan Syeikh Abdul Karim Amrullah di Surau Jembatan Besi, Padang Panjang, merupakan modal dasar baginya untuk memulai sebuah gagasan baru dalam dunia pendidikan dan pengajaran agama Islam. Sebagai seorang yang berpikiran moderen dan maju, di samping berkarya melalui media pers, ia sangat berkeinginan mewujudkan cita-citanya untuk merubah sistem pendidikan Islam. Kondisi pendidikan umat Islam jauh tertinggal dibanding dengan pendidikan pemerintah Belanda. Ia menginginkan perubahan sistem pendidikan Islam yang selama ini diselenggarakan dengan cara tradisional dan sudah ketinggalan zaman. Duduk di lantai melingkar diganti dengan meja dan kursi; guru dan murid sama-sama duduk di kursi. Guru hendaknya berada di depan murid-murid, jangan berkeliling sambil bersandar di tiang masjid. Media belajar sebaiknya digunakan papan tulis dan kapur tulis dan harus ada rencana pelajaran yang teratur. Pakaian sekolah murid-murid harus diatur sedemikian rupa dan mereka tidak boleh berpakaian seenaknya. Untuk menentukan kehadiran murid-murid, harus ada absen dan jika suatu ketika seorang murid tidak bisa hadir di sekolah harus ada surat keterangan (sakit, izin dan lain-lainnya). Untuk menilai kemampuan murid-murid menyerap pelajaran yang diberikan, harus ada evaluasi akhir dan setiap akhir tahun harus ada kenaikan tingkat (kelas). Cita-cita itu menjadi spirit di dalam jiwanya dan pada setiap kesempatan mengajar di surau Jembatan Besi, ia selalu mengemukakan keinginannya itu kepada murid-muridnya. Ia melihat di mana-mana belum ada sekolah agama seperti apa yang ia cita-citakan itu. Pola dan sistem pengajaran di surau dirasakan tidak berkembang. Setelah cita-cita besar ini dirasakan sudah mantap dan telah mendapat dukungan dari sebahagian murid-murid surau Jembatan Besi, maka pada tanggal 10 Oktober 1915, Zainuddin Labay mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam baru yang diberi nama Diniyah School, dengan sistem berkelas. Sekolah ini menerima murid-murid laki-laki dan perempuan, diajar dalam kelas yang sama dalam waktu yang sama serta dengan guru yang sama. Pola semacam ini dalam dunia pendidikan dikenal dengan istilah “ko-edukasi”.
Obsesi besar yang dicanangkan Zainuddin Labay dalam dunia pendidikan Islam, ternyata telah memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi perkembangan sistem pendidikan Islam. Sistem pendidikan yang dibangunnya tidak hanya memberikan sumbangan bagi penataan aspek kelembagaan dan aspek kurikulum saja, akan tetapi juga mampu melahirkan generasi dan kader-kader berkualitas dan memiliki reputasi baik dalam lapangan pendidikan maupun dalam bidang-bidang lain. Beberapa orang di antaranya dapat disebut antara lain, seperti Rahmah el-Yunusiyah (adik kandung Zainuddin Labay dan pendiri Diniyah Putri).Kiprahnya dalam bidang pendidikan Islam masih bisa dilihat sampai sekarang. Lembaga pendidikan yang didirikannya tetap diminati masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan sampai ke negara tetangga, yakni Malaysia dan Singapura. Atas jasanya dalam pengembangan pendidikan Islam, pada tahun 1956, rektor universitas al-Azhar, Kairo menganugerahkan gelar “Syaikhah” kepadanya. Pemerintah Indonesia sampai saat ini belum memberikan penghargaan sebagai pahlawan nasional dalam bidang pendidikan Islam walaupun usulan untuk itu sudah lama dilakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar